Tak kuasa aku menahan bendungan kristal-kristal hangat ini. Spontan aku menelungkupkan tangan menutup mataku yang sudah basah.
Melihat pemandangan yang indah ini, harusnya aku menangis haru, bukan malah merasakan sakit yang begitu menusuk.
Ya.. pernikahan adik bungsuku.
“Niswah.. barakallah," batinku dalam hati.
Pernikahan ini menandakan pernikahan terakhir bagi adik-adikku. Tantri, Zaky, dan kini Niswah.
“Lalu? Kapan Giliranku? Semua adik-adikku telah mendahuluiku," isakku semakin membuncah di balik pintu kamar.
Tok… tok… tok..
“Fahiyaaa… kau sedang di kamar? Bisa bantu Umi’ membawakan karangan bunga ini ke kamar pengantin?” teriak Umi’ Salma dari luar kamar.
“Iya mi’ sebentar ya”
Setelah memastikan kalau air mataku benar-benar kering, aku melangkah keluar kamar dan bergegas membantu Umi’ memindahkan bunga dari ruang tengah ke kamar pengantin.
Dadaku kembali terasa sesak melihat kamar Niswah. Tempat tidur dengan seprai biru bermotif kartun itu, sekarang sudah berganti kain sutera berwarna putih tulang. Ku tekan dadaku supaya rasa sakit ini berkurang. Mungkin memang belum waktuku.
***
“Hiya… Ustadzah Hiya..”
Aku tersentak saat mendapati Ustadz Fatir –rekanku mengajar di TPA- melambaikan tangannya di depan mataku.
“Ya Ustadz?”
Ustadz Fatir mengulas senyum manis, “Sekarang waktumu mengajar tajwid."
Kutepuk dahiku sendiri, menyesal karena larut dalam lamunan sampai melupakan kewajiban.
“Oh iya, afwan ustadz,” seruku terbata-bata.
Aku meneruskan rutinitas mengajarku, hingga denting jam yang berbunyi 4 kali itu menghentikannya.
Rasanya tidak ingin waktu mengajar usai secepat ini. Aku masih tidak sanggup melihat kehidupan baru Niswah di rumah. Akhirnya, aku memilih menata bangku TPA. Hal yang tidak pernah ku lakukan sebelumnya.
“Kenapa ustadzah belum pulang?” tanya Ustadz Fatir.
“Hanya ingin lebih lama disini,” jawabku dengan senyum.
Ustadz Fatir kembali menekuni pekerjaannya, tapi sepertinya ia menangkap kegelisahanku karena ia kembali berkata, “Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Teman ada untuk berbagi.”
Mataku menatap Ustadz Fatir ragu. Sudah 5 tahun aku mengenalnya, mungkin tidak ada salahnya kalau aku bercerita. Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya terduduk di bangku dan mulai membuka mulut. Entah kenapa semua keresahanku mengalir begitu saja, seolah Ustadz Fatir menyediakan wadah untuk menampungnya.
“Maukah ustadzah dijodohkan dengan ikhwan yang miskin, tapi baik agama dan akhlaknya?”
“Hah?” mendengar kata-kata ustadz Fatir rasanya seperti disambar petir.
“Ana serius, namanya Fauzan Tierney,” imbuh ustadz Fatir.
“Izinkan ana beristikharah dulu,” jawabku ringan.
Sebulan kemudian…
“Bagaimana ustadzah, sudah dapat jawaban dari Allah?”
Tiba-tiba ustadz Fatir membuatku tersentak kaget.
“Oh emm.. alhamdulillah sudah ustadz, insyaAllah ana mau dijodohkan dengan Fauzan Tierney”
“Baiklah, katakan kepada kedua orang tuamu bahwa Fauzan Tierney akan bersilaturrahim besok,” seru ustadz Fatir seraya pergi meninggalkan ruangan.
Aku hanya terpaku mendengar kalimat itu.
“Ya Allah, semoga Fauzan Tierney memang jodohku,” doaku dalam hati
Keesokan harinya…
Tok.. Tok.. Tok..
“Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”
Aku membuka pintu dan sekarang didepanku berdiri 2 orang yang seumuran dengan Umi’ dan Abiku, dan seorang lagi yang sudah aku kenal dekat.
“Fatir?” seruku pelan.
“Fauzan Tierney (Fatir)” sambungnya dengan senyum.
***
476 kata plus judul
No comments:
Post a Comment