Thursday, June 9, 2011

NIKEN

Lewat catatan lusuhnya Niken kembali merangkai sebuah kalimat. Entah kalimat apa itu, mungkin sebagian orang awam yang tak mengenal jenis kata itu akan menduganya itu adalah spesifikasi bahasa planet lain.
Niken mengulum senyum yang terkesan tak dapat diartikan, sebuah kesedihan, kebahagiaan, ataupun kemarahan. Mimik wajahnya yang unik, dengan bola mata yang berukuran sedang, alis yang melengkung bak bulan sabit, menambah kesan indah di rembulan wajah putihnya.

1"Die avond je
Maar je weet nooit
Of je doet alsof
Ah ik begrijp het niet
Wat wel duidelijk is
Ik zal niet boos op God, die u geschapen heeft en vaak maakt me pijn doen
In plaats daarvan zal ik dank God voor het feit dat stelde me voor aan je"

Niken membaca berulang-ulang kalimat yang dituliskan diatas kertas lusuh itu. Kali ini Niken menitikkan air mata. Sebuah diaroma yang janggal ketika seraut wajah yang tengah memperhatikannya ikut menitikkan air mata.
Bianka, nama lelaki yang tengah memperhatikan Niken yang berdiri tak jauh dari tempat Niken duduk. Wajahnya diliputi sebuah kebimbangan, ada aroma cinta yang terbungkus sebuah prinsip yang nyata digaris-garis wajahnya. Lelaki itu masih berdiri dibalik persembunyiannya, sebuah pohon tua yang berukuran cukup besar.
2"als je ook weet dat de waarheid" lelaki tinggi yang bernama Bianka itu berkata lirih, mungkin hanya angin dan riuh daun yang mendengarnya.

"Bi.." Sosok laki-laki bertubuh kurus menepuk bahu Bianka.
"Reno?" Bianka menoleh kebelakang, Bianka mendapati sosok Reno sedang mentapnya dengan tatapan memburu.
"Aku tak bisa Ren, biar diam menjadi saksi yang nyata" Bianka kembali berbicara, seolah Bianka paham dengan kalimat tanya yang sedang menusuknya lewat tatapan Reno.
"Aku tau apa yang kau rasa Bi, tapi tak seharusnya kau menyiksa dirimu seperti ini. Apa kau juga tau? Gadis yang sedang duduk disana juga merasakan sakit karena ulahmu yang egois?"
"Aku hanya lelaki penakut Ren, takut pada TUHANku"
"Kau selalu berlindung dengan kata TUHAN. Apa Tuhan mengajarkan kita untuk menyakiti? Tidak Bi, prinsipmu salah. Menyayangi itu lumrah, Tuhan pun telah menjelaskannya di Al Qur'an. Tak ada yang salah dengan menyayangi"
"Sudahlah Ren, aku tak ingin berdebat. Biarkan aku menunggu titah TUHANku untuk menjelaskan hati ini"
"Ah terserah kau sajalah" Reno sudah angkat tangan dengan sahabatnya yang satu ini.
Dari tempat persembunyiannya Bianka melihat Niken beranjak pergi dari tempat duduknya. Mata Bianka mengikuti gerak langkah Niken sampai di ujung persimpangan jalan yang perlahan menyisakan bayang-bayang Niken dan kemudian hilang bersama senja.
***

            “Ken.. nggak seharusnya kau melakukan hal bodoh itu”
         “Apa aku salah memilih dia sebagai inspirasiku? Aku hanya bisa menunjukkan bagaimana isi hatiku untuknya lewat tulisan-tulisan tintaku. Aku ingin dia tersenyum saat membaca karyaku”
          “Salah jika kau memberikannya pada lelaki itu. Bagaimana bisa kau melakukan hal itu tanpa berfikir panjang terlebih dahulu?” Sesa terlihat kecewa melihat kenekatan sahabatnya, Niken.
            “Jadi dia sudah tau tentang hatimu?” tanya Sesa sekali lagi.
          “Aku rasa iya, karena dia bukan lelaki bodoh. Sudahlah Ses, itu hanya tulisan. Atau mungkin sebuah coretan hati? Ah entahlah aku sendiri bingung kenapa bisa melakukan hal ini” gelak tawa ringan meluncur dari mulut Niken.
            “Kau selalu seperti ini. Tak pernahkah kau berfikir, dia tersenyum hanya untuk menutupi rasa kasihan terhadapmu? Kasihan karena cintamu bertepuk sebelah tangan? Ken harusnya kau berfikir terlebih dahulu, apakah dia memang belum mempunyai sosok wanita yang telah mendiami kursi di hatinya?”
          Ucapan Sesa seolah menjadi sambaran petir yang seketika menyambar organ lunak Niken secara spontan. Niken tercekat dalam kebisuan, tak sepatah kata pun mampu ia ucap melalui lisannya.
            “Maafkan aku Ken, tak seharusnya aku berkata demikian terhadapmu. Aku hanya ingin kau mengerti dan tak membuat hatimu terperosok terlalu jauh. Aku tak ingin kau terluka, seperti aku” suara Sesa terdengar melemah.
            Niken menatap Sesa, dari kedua bola matanya tampak kerlingan bulir-bulir kristal.
            “Iya Ses, aku paham”
            Kedua sahabat itu saling berpelukan.
            “Aku hanya mencintainya, tidak butuh apa-apa darinya. Cukup dia tersenyum.” Suara Niken terdengar lirih di telinga kanan Sesa.
            Jalan pikiran Niken kembali berkelibat, teringat dua hari lalu dia membawakan sebuah tulisan dan memberikannya pada lelaki bertubuh tinggi yang mempunyai hidung mancung. Sebuah tulisan yang berisi implisit-implisit yang mudah diterka. Namun Niken hanya berharap lelaki itu tak menanggapinya dengan serius.
            Setelah beberapa detik berlalu, kedua sahabat itu saling melepaskan pelukan. Kembali Sesa berkata mengawali pembicaraan yang sempat terhenti.
            “Ken.. maukah kau kuberitau sesuatu?”
            Niken mendongakkan kepala menatap mata sahabatnya, “Tak perlu Ses, aku tau apa yang ingin kau katakan terhadapku”
            Untuk kesekian kalinya, suasana kembali hening diantara mereka, yang terdengar hanya suara kicau burung yang hinggap di dahan pohon yang memayungi Niken dan Sesa.
***
            “Mau kemana?” tanya Reno yang baru bangun dari tidurnya dan masih mengucek-ngucek matanya.
            “Mau menghentikan kepalsuan” jawab Bianka singkat.
            “Hah? Lari dari kenyataan?” Reno memasang wajah penuh tanda tanya akan sahabatnya ini.
            “Aku akan menemuinya. Untuk menjelaskannya, agar tak ada bimbang diantara aku dan dia. Aku tak ingin melihat dia menitikkan air mata lagi seperti kemarin. Diam memang emas, namun menyelesaikannya dengan bicara kadangkala bernilai mutiara” senyum Bianka.
            “Ini baru sahabatku. Semoga berhasil kawan, aku mendoakanmu” Reno menepuk-nepuk bahu Bianka.
            Bianka pergi mengendarai kendaraan maticnya, menuju sebuah rumah yang terletak di pinggiran kota. Sebuah rumah dengan pagar tembok berwarna biru muda dan dinding rumah yang berwarna putih bersih. Sekitar jarak lima kilometer Bianka keluar dari daerah kost’annya mendadak ban motor yang ia kendarai bocor, sepedanya oleng dan Bruuuukkkk hantaman mobil truck yang memuat kayu berukuran besar tak bisa dielaknya. Nyawa Bianka lenyap seketika.
           Ruh Bianka keluar dari jasadnya. Bianka hanya bisa menyaksikan haru saat jasadnya yang berlumuran darah diangkat ke mobil ambulance.
          Usai menyaksikan hal itu, kembali Bianka teringat akan tujuan utamanya yang ternyata berujung maut tersebut. Bianka mempercepat mengangkat ruhnya pergi ke kediaman Niken. Didapatinya wanita yang dua tahun terakhir berhasil menduduki kursi dihatinya itu tengah menuliskan sesuatu. Tulisan yang sudah Bianka hafal, karena Niken sering melantunkannya ketika duduk-duduk dikursi taman. Tapi tunggu, ada yang berbeda dari tulisannya. Disana tertulis jelas nama “Bianka Putra Gistela”
           
"Die avond je
Maar je weet nooit
Of je doet alsof
Ah ik begrijp het niet
Wat wel duidelijk is
Ik zal niet boos op God, die u geschapen heeft en vaak maakt me pijn doen
In plaats daarvan zal ik dank God voor het feit dat stelde me voor aan je
            3Dank u, Bianca Putra Gistela”

           Gemuruh didada ruh Bianka masih bisa dirasakannya, meskipun dia hanya ruh. Sesak menyelimuti rongganya, tatapannya semakin gelap melihat Niken.
            Niken mengulum senyum dan sedetik kemudian menitikkan air mata ketika membaca pelan tulisan di lembar kertas lusuhnya.
            “Aku tau kau tak bodoh Bi, aku tau kau berpura-pura disana. Aku tau kita terhalang prinsip. Oh tidak Bi, ini bukan sebuah prinsip. Tapi ini aturan TUHAN. Aku hanya ingin kau tersenyum Bi, tidak untuk balasan cinta. Biar TUHAN yang perlahan memberi tahumu, bahwa aku disini tengah mencintaimu. U’re my inspiration Bi” Niken memeluk catatan lusuhnya dengan erat.
            Ruh Bianka yang menyaksikan hal itu hanya bisa tersenyum, “Kau wanita kuat Ken, aku tau itu. Kadangkala diam memang emas dan akan selalu emas. Beruntung kita tak saling bicara. Jika kita saling berbicara sebelum titah TUHAN turun, mungkin aku akan merasa begitu bersalah karena sekarang aku akan meninggalkanmu dengan luka yang begitu mendalam. Benar pesan pendahulu kita, ingatlah selalu kisah Ali dan Fatimah, Ken. Percayalah dalam diam kelak kau kan temui sebuah senyum emas”
            Perlahan ruh Bianka menghilang dan hembusan angin sejuk menyelinap masuk melalui jendela kamar Niken yang terbuka lebar, hembusan angin membelai manja wajah Niken dengan halus. Seketika hati Niken kembali tenang saat dia melantunkan dzikir, “Subhanallah Walhamdulillah Walaailahaillallah Wallahuakbar”
***
Catatan kaki:
1
Malam adalah kamu
Tapi kamu tak pernah tahu
Apakah kamu berpura-pura
Ah saya tidak mengerti
Yang jelas
Aku tidak akan marah pada Tuhan yang menciptakan kamu yang  seringkali membuat saya terluka
Sebaliknya, saya berterima kasih kepada Tuhan karena telah memperkenalkan saya kepada kamu


2
Seandainya kamu tahu

3
Terima kasih

No comments:

Post a Comment