Seperti biasa, aku sangat menyukai cafetaria kecil yang sederhana ini. Selain letaknya hanya beberapa meter dari kantorku, menu makanan dan minuman disini juga bermacam-macam, harganya pun cukup murah. Meskipun tempatnya ramai akan pengunjung, tapi suasana disini terlihat begitu nyaman dan tenang.
“La Tansa” ya itulah nama cafetaria ini.
Kalau tak salah, la tansa itu berarti “diingat”, dan aku rasa si pemilik cafetaria berharap siapapun yang pernah datang kesini agar kembali lagi. Karena selalu diingat entah itu karena makanannya ataupun suasananya.
Hari ini, aku tak terlalu sibuk. Bosku pun sedang keluar kota. Aku bisa cukup santai dan berlama-lama menikmati makan siang kali ini. Dengan menu ikan bakar kecap manis plus ice lemon tea, terlihat begitu menggoda selera makanku, apalagi cacing-cacing didalam perutku ini. Sepertinya sudah benar-benar butuh makanan.
Dengan lahap, aku melumat tanpa ampun makanan yang ada didepanku ini. “Alhamdulillah nikmat sekali” pekikku dalam hati. Selesai makan tak lantas bagiku untuk langsung membayar di kasir, aku masih tetap tak beranjak dari kursi cafetaria ini. Sekedar bersandar dan membuka lagi notes kecilku, membaca beberapa rentetan catatan yang kutulis dengan tinta hitam dan ada juga centang berwarna merah.
“Nyaris lupa, uang untuk pesta ulang tahun Mita” ku tepuk dahiku yang mulai keriput.
Kembali aku menatap notes kecil ditangan kananku ini, disana tertera hari dan tanggal ulang tahun Mita, Rabu, 15 Maret 2011.
“Bagaimana ini? Uangku sudah nyaris tak bersisa lagi. Kemarin saja istriku habis belanja bermacam-macam barang.
“Oh Tuhan, aku tak ingin mengecewakan anak semata wayangku, Mita. Apalagi ini ulang tahun di usia ke 17.” Mendadak kepalaku pening seketika. Apalagi saat aku mengecek tagihan kartu kredit yang begitu membengkak. Entah sudah aku gunakan untuk apa saja uang itu. Yang jelas untuk membahagiaan keluargaku.
Aku begitu hanyut dalam tumpuan tanganku. Menopang kepalaku yang kugunakan untuk menutup wajahku yang sedang dilanda bingung ini.
“Assalamu’alaikum”
Spontan aku mendongakkan kepalaku, melihat ke arah pembuat suara.
“Assalamu’alaikum bapak Doni” serunya lagi yang disambung dengan seulas senyum simetris diwajah yang berkulit putih cerah.
“Wa’alaikumsalam” aku mengernyitkan dahi, timbul pertnyaan diotakku “Siapa lelaki ini?”
Sebelum aku mengeluarkan pertanyaan yang berkelibat di otakku ini, lelaki itu memperkenalkan dirinya, “Masih ingat saya pak? Saya Bagus pak, saya murid bapak dulu sewaktu di madrasah. Murid yang paling hiperaktif.” Jelasnya lagi.
Mesin pencari memori di otakku seketika bekerja lebih cepat dari biasanya. Aku mencari-cari nama Bagus. Dia muridku? Entahlah aku sedikit samar mengingat tentangnya, mungkin karena dulu muridku begitu banyak. Tapi aha, beberapa detik kemudian aku mengingatnya, “Oh Bagus, ya saya masih ingat. Bagaimana kabarmu gus?”
“Alhamdulillah baik pak, bapak sendiri bagaimana kabarnya?”
“Alhamdulillah seperti yang kamu lihat sekarang, saya baik-baik saja.”
“Syukur kalau begitu, oh iya pak. Dengar kabar, katanya semenjak 5 tahun lalu bapak sudah beralih profesi ya?”
“Iya gus, tapi masih sama saja. Saya masih berkecimpung di dunia tekhnologi.”
“Emm pak, saya mau mengucapkan terima kasih pada bapak” suara Bagus terdengar dengan volume kecil.
“Untuk apa gus?” tanyaku heran, padahal sudah nyaris 7 tahun aku tak bertemu dengan anak ini. Kenapa tiba-tiba dia berkata demikian terhadapku.
“Karena nasehat bapak 7 tahun silam, saya pun bisa menjadi orang yang alhamdulillah bisa dibilang cukup sukses. Jujur jujur jujur, itulah yang sering bapak ingatkan pada kami. Nasehat itu, sebisa mungkin saya tanamkan di kehidupan saya. Alhamdulillah berkat itu, dengan mudah saya naik jabatan dan hingga sekarang.” Ujarnya dengan penuh semangat.
“Alhamdulillah saya ikut senang mendengarnya” aku menepuk-nepuk puggung Bagus, sekedar untuk mengakrabkan suasana. Dan saat aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah menunjuk angka 1:45.
“Maaf gus, sepertinya jam makan siang bapak sudah habis, dan sekarang waktunya bapak kembali ke kantor. Jika tak sibuk, kapan-kapan kamu boleh mengunjungi bapak disana” aku menunjuk ke sebuah gedung yang letaknya hanya berjarak 2 bangunan dari seberang cafetaria ini.
“Oh baiklah pak”
***
Aku terdiam menikmati sore di hari minggu yang cerah ini di bangku taman kompleks perumahan. Banyak hal yang menghiburku, mulai dari anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran, langit senja yang merah merona diterpa siluet jingga, hingga kicau anak burung di pohon taman. Melupakan penat kehidupan di tempat seperti ini begitu menenangkan pikiran. Sampai ada suara nyanyian yang tiba-tiba mengenai gendang telingaku, kulihat ada dua pengamen cilik yang mungkin bisa aku terka usia mereka antara 7 sampai 9 tahun. Aku terdiam, mencoba menikmati lagu yang mereka nyanyikan. Cukup menghibur, alunan sholawat badar rupanya. Hingga selesai, kemudian ku julurkan selembar uang lima ribuan.
“Terima kasih pak, semoga rezekinya nambah.” Seru kedua anak itu serempak nyaris bersamaan.
“Amin” jawabku dengan seulas senyum.
Aku melihat kedua anak pengamen itu melangkah pergi dari hadapanku, lambat laun tinggal bayangannya saja dan kemudian hilang entah kemana.
“Deg” lagi-lagi aku kembali teringat tentang masalah keuanganku.
“Hhh” aku mendesah pelan.
Pikiran kotor tiba-tiba menggelitikku, “Haruskah aku menggelapkan uang kantor?”
“Tidak tidak tidak” sebisa mungkin aku membuang pikiran kotorku ini.
***
Ku lihat adegan pagi ini di lobi kantor, “Pak maafkan saya, saya benar-benar teledor pak. Saya akan ganti uang keteledoran saya selama menjadi seorang kasir disini” seru seorang wanita yang mengenakan seragam hijau muda itu.
“Sudahlah tak mengapa, manusia itu tak ada yang sempurna. Uang satu juta biarlah tak usah diganti, bekerjalah lebih baik lagi. Mengerti?” jawab lelaki berdasi yang berada dihadapan wanita itu.
“Baik pak, terima kasih atas kebaikan bapak” wanita itu masih terus saja menundukkan kepalanya, sepertinya dia begitu sungkan dengan lelaki berdasi itu. Ya lelaki itu bos besar di kantorku. Dia memang orang yang begitu baik dan bijaksana. Semua begitu hormat padanya, bukan hanya karena dia seorang direktur utama, tapi karena sikap dia itulah yang membuatnya terlihat begitu wibawa.
Kembali otakku terserang virus jahil si pikiran kotor, “Ayo Don sekarang tak perlu lagi kau ragu untuk menggelapkan uang kantor, toh hanya beberapa juta saja. Bosmu itu baik sekali, walaupun ketahuan pasti kau juga akan mendapatkan maaf darinya.”
“Aaaaaaarrrrggghhh” perang itu lagi semakin membulat di otak dan benakku.
“Haruskah aku melakukannya?” gumamku pelan.
Lagi-lagi suara jahil itu membisikiku, “Ingatlah Mita Don, maukah engkau mengecewakannya? Maukah engkau melihat air mata mengalir membasahi pipinya? Ingat Don, 15 Maret itu hari bersejarah untuk Mita.”
“Baiklah aku akan melakukannya” ternyata bisikan itu memenangkan perang kali ini. Hati dan otakku sudah membulat untuk melakukan penggelapan uang. Yang rencananya akan aku bawa pulang file-file untuk hal itu.
***
Jam kantorku sudah usai, aku mengemas beberapa perlengkapan kantorku dan tak lupa juga aku memasukkan beberapa lembar file ke dalam koperku. Ya itu file yang akan aku ubah untuk mendapatkan sedikit uang dari kantorku. Aku melangkah keluar dari gedung, hatiku seolah mantap untuk melakukan kejahatan yang pertama kali ku lakukan ini.
Sepulang kerja aku tak langsung pulang ke rumah, aku menghentikan mobil sedanku di pinggiran taman perumahan. Aku memilih salah satu kursi di pojok taman untuk sekedar bersandar menikmati langit sore yang mulai terasa gelap karena awan mendung.
Tak jauh dariku, ada dua pengamen cilik yang waktu itu aku pernah temui juga di taman ini. Aku melihat mereka sedang menghitung uang recehan dari kantung plastik bekas, mungkin itu penghasilan mengamen hari ini. Aku pun sedikit mendengar percakapan mereka, “Kak, aku lapar. Ayo kak bagi uangnya, kita beli nasi rames” seru salah pengamen yang berusia lebih muda.
“Jangan dik, uang ini harus disetorkan dulu pada Bang Udin”
“Ayolah kak, tak mengapa jika kita hanya mengambil 3 ribu saja. Toh uang ngamen hari ini cukup banyak. Bang Udin tidak akan tau.” Rengeknya lagi.
“Bang Udin memang tidak tau kalau kita akan mengambil beberapa dari uang ngamen ini. Tapi Allah Maha Tau dik, Dia tidak pernah tidur. Sudahlah, lebih baik kita pulang saja dan menyetorkan uang ini. Berdoa saja semoga Bang Udin mau berbagi uang dengan kita.”
“Baiklah kak, ayo kita pulang”
Glek.. aku tak mampu berkata-kata lagi. Percakapan sederhana mereka seolah menjadi petir di hatiku kini. Memoar perjumpaanku dengan Bagus pun kembali terputar di kepalaku, saat detik Bagus mengucapkan terima kasih atas nasehat jujur yang telah aku ajarkan padanya saat di madrasah dulu.
“Ya Allah, tega sekali jika aku harus mengingkari nasehatku sendiri pada muridku dulu. Aku malu Ya Allah. Lihat, anak kecil itupun lebih mulia daripada diriku yang sudah berusia kepala empat.”
Tangisku membuncah bersama rintik hujan yang perlahan mulai turun dari langit.
“Tidak Tuhan, aku tak kan menggelapkan uang kantor ini. Lebih baik aku ajukan pinjaman saja pada bosku,” seruku mantap.
***
Orang jujur selalu kena gusur...contoh kasus anak di siduarjo akhir2 ne...gara2 jujur tentang UN, dia diusir warga kampung :p
ReplyDeleteah ya ga gitu juga om..
ReplyDeletejujur harga mati, bismillah