Tiga Pekan Bersamamu
Oleh: El Mukarrima
“Diamlaaaaahhhh beriisssiiiikkk” teriakku dengan nada tinggi.
“Kakak sakit apa?” suaranya terdengar lagi.
“Aku buta, mobil yang menabrakku 3 bulan lalu itu yang membuatku jadi seperti sekarang. Aaaaaarrrggghhh ingin aku bunuh orang yang membuatku seperti ini” teriakku lagi.
“Jangan sedih kak, ada aku disini” senyum gadis kecil itu, suaranya terdengar begitu khas dan lincah. Meskipun aku tak bisa melihat untuk memastikan apa benar dia seorang gadis kecil, tapi aku yakin dia seorang anak gadis yang sehat dan tak buta sepertiku.
“Hhh anak kecil seperti kau membuatku semakin ingin marah-marah saja. Diamlah, aku tak ingin mendengar kau berbicara. Berisik tau!!!” aku memendamkan kepalaku dengan bantal yang bau obat, khas rumah sakit.
***
“Kak main yuk” ajak gadis kecil disebelahku.
“Apa kakak ga bosan tidur di kamar terus? Ayo main sama Mala, kita jalan-jalan di taman rumah sakit ini” suara anak kecil itu terdengar lagi.
“Hhh tidak, mainlah sendiri” aku mendesah pelan.
“Mala mau main sama kakak” kali ini suaranya terdengar merengek.
“Kau mengajakku ke taman? PERCUMA, aku tak bisa melihat. Mengerti kau!!! Orang sakit ya tidur aja di kamar” jawabku ketus.
“Kakak kan cuma ga bisa melihat, tapi bisa jalan-jalan toh?”
Kreeekkk… pintu kamar rumah sakit yang ku tempati itu terbuka, “Selamat pagi” sapa seorang suster. Aku diam tak bergeming, tak menyahut sapaan ramahnya.
“Selamat pagi juga suster” suara gadis kecil itu terdengar memecah hening suasana kamar yang bau obat.
“Sus.. bisa minta tolong?” serunya lagi.
“Iya Mala sayang, apa yang bisa suster lakukan?” suara suster itu terdengar begitu hangat dan sepertinya sudah akrab dengan gadis kecil disebelahku ini.
“Bisakah engkau membawa kami untuk jalan-jalan ke taman rumah sakit?”
“Tentu, ayo sayang”
“Kak ayo jalan-jalan sama Mala” tangan Mala tiba-tiba mengait ke tanganku.
“Aku bilang aku ga mau” aku mencoba melepas tangan Mala yang mengait ditanganku itu. Tapi gagal, kaitannya terlalu kuat.
Entah mantra apa yang membuatku akhirnya mau untuk beranjak dari kasur. Aku melangkahkan kaki dengan terbata-bata dan sekaligus meraba-raba keadaan sekitar. Aku dibantu dengan suster untuk berjalan ke arah taman.
“Nah kalian duduk disini dulu ya, suster mau mengurus pasien lainnya. Kalau butuh apa-apa langsung panggil suster. Suster ada di sekitar taman ini juga”
“Oke suster” jawab Mala dengan riangnya.
Langkah sepatu suster lama-kelamaan terdengar semakin pelan dan akhirnya menghilang entah kemana. Disini tinggallah aku dan Mala saja, atau mungkin ada beberapa pasien lagi disana.
“Kak, bagaimana? Udara pagi ini terasa sejuk bukan? Oya coba dengar, suara kicauan burung itu. Disana ada beberapa burung di tangkai pohon cemara, sepertinya mereka sedang membuat sarang”
“Hemm” jawabku ketus.
“Kak awannya lagi cerah loh, bagus deh. Tapi sayang, kakak disebelahku lagi murung. Hemm awannya jadi mendung. Ayo kak senyum”
Aku menyunggingkan senyum sekenanya.
***
Hampir setiap hari selama 3 pekan, aku selalu bercengkrama dengan Mala yang ternyata juga pasien di rumah sakit ini. Aku pun semakin merasa nyaman dengannya. Dia pun sudah aku anggap layaknya adik kandungku sendiri. Sampai suatu waktu, aku pisah kamar dengan Mala. Aku berada di ruang ICU karena habis operasi mata.
Syukur alhamdulillah selama 2 pekan di ruang ICU dan setelah menjalani operasi mata itu, akhirnya aku bisa melihat lagi. Dokter pun menyatakan aku boleh pulang, senang rasanya hari ini. Spontan aku berlari ke kamar tempat aku dan Mala pernah dirawat. “Malaaaa…” teriakku memanggil namanya sesaat setelah membuka pintu kamar. Tapi tak ada jawaban. Aku melihat sekeliling, kasur dan kamar mandi tetap tak kutemukan Mala. Lalu aku mencoba bertanya kepada salah seorang suster yang lewat disekitar kamar.
“Sus, pasien dikamar ini yang bernama Mala kemana ya?” tanyaku gelisah.
“Ikutlah denganku” serunya pelan.
Aku mengikutinya, ternyata suster berjalan ke arah taman. Kami pun duduk disalah satu kursi disana. “Mala adalah seorang gadis yang baru berusia 8 tahun, yang dulu saat masih bayi kami temukan dia di gerbang pintu rumah sakit” suster membuka percakapan.
“Maksudmu? Mala adalah bayi yang dibuang?” tanyaku heran.
“Iya” jawab suster, kemudian suster melanjutkan lagi ceritanya “Dengan kebaikan kepala rumah sakit, akhirnya diputuskan bahwa Mala akan dirawat oleh pihak rumah sakit. Semakin dia tumbuh, ternyata penyakit itu juga tumbuh menggerogoti tubuhnya. Di usia 6 tahun, Mala dinyatakan buta. Tapi beruntung, Mala adalah sosok yang tegar. Dia tetap begitu ceria menjalani hari-harinya. Hingga sepekan lalu, penyakit Mala bertambah parah, dokter yang mengoperasinya tak sanggup untuk membuat Mala sembuh dan yang terjadi itu” suster menunjuk gundukan tanah di pojok taman rumah sakit dibawah pohon.
“Mala?” aku berjalan ke arah gundukan tanah, terlihat jelas di papan kayu itu tertulis nama Mala Maulida.
“Terima kasih Mala, semoga engkau baik-baik saja disana” aku tersungkur memeluk papan nisan itu, rintik bulir-bulir kristal tak sanggup lagi untuk ku bendung. Tangisku benar-benar membuncah.
***
No comments:
Post a Comment