“Aku muak dengan semua ini. Kembalikan aku dengan nenekku,” Zaki berteriak sekencang-kencangnya.
“Tenanglah.. ada apa denganmu Zaki? Ku mohon, tenanglah sejenak,” wanita di depan Zaki terlihat begitu kebingungan melihat ulah Zaki yang sudah tak bisa dikendalikan lagi. Tanpa sadar, air mata wanita itupun menetes perlahan membasahi pipinya yang mulai ditutupi garis-garis keriput.
“Zaki tak suka ada disini. Terlalu berisik, kotor dan memuakkan” cecar Zaki.
“Maafkan ibumu ini Zaki” suara wanita itu terdengar begitu parau, entah karena efek menangis ataupun memang itulah suara khasnya.
Seketika suasana sepi menyerang diantara Zaki dan ibunya. Zaki yang semula marah-marah dan berteriak, kini pun dia membisu melihat isak tangis wanita di depannya.
“Bu..” serunya pelan.
Ibu Zaki mendongakkan kepalanya ke arah Zaki.
“Bu.. maafkan Zaki yang termakan emosi. Zaki yang salah bu, tak seharusnya Zaki marah-marah pada ibu” Zaki mendekati ibunya, mencoba menghapus bulir-bulir air mata yang menetes membasahi pipi ibunya.
“Ibu yang salah nak. Ibu yang salah.. tak seharusnya Ibu mengajakmu untuk tinggal di kota seperti ini” tangis Ibu Zaki kembali membuncah.
“Sudahlah bu.. Tak mengapa, tak ada yang perlu disalahkan. Mungkin ini memang jalan kita” ucap Zaki.
“Ibu sudah sholat? Mari kita sholat sejenak, untuk meredam emosi ini” ajak Zaki.
***
Zaki melihat keluar jendela dari lantai tiga tempat tinggalnya, tampak pemandangan yang cukup semrawut. Pemandangan mesin-mesin beroda empat dan dua yang berjejer memanjang seperti semut yang sedang berbaris, cerobong-cerobong besar dan panjang yang memuntahkan asap hitam yang mengepul di udara, hingga pemandangan gedung-gedung bertingkat yang seolah berlomba-lomba menuju puncak langit tertinggi tampak menghiasi kota ini.
“Nek aku rindu nenek. Aku tak tau lagi sampai kapan aku mampu untuk bertahan di kota serba mesin ini. Aku rindu kaki gunung, gemericik air sungai, kicau burung di pagi dan sore hari, hamparan hijaunya sawah, gubuk kecil kita. Aku rindu nek.. Aku ingin kembali hidup bersamamu. Biarlah hidup sederhana, asal diriku bisa tersenyum bahagia. Aku tak suka dengan kehidupan di kota mesin ini nek.. Disini terlalu bising dengan deru mesin yang berlalu-lalang itu” gumamku lirih.
“Zaki kau sedang apa?” suara Ibu Zaki membuyarkan lamunannya.
“Hanya melihat mesin-mesin itu bu” Zaki menunjuk ke arah jalan raya yang padat dengan mobil-mobil.
“Kau benar-benar rindu untuk kembali tinggal di desa nenek?” tanya Ibu Zaki.
“Oh tidak bu” jawab Zaki cepat.
“Kembalilah jika itu membuatmu bahagia”
“Tidak bu, Zaki akan bersama ibu disini. Berbakti pada ibu itulah kebahagiaan Zaki” senyum Zaki menutupi kabut rindu yang benar-benar disimpannya rapat-rapat.
*400 kata+judul
By: eL
By: eL
No comments:
Post a Comment