Thursday, March 31, 2011

Jangan Membenci Hujan Karenaku (Part 2)

Sebelumnya ini nih>>> Jangan Membenci Hujan Karenaku (Part 1)

           Aku menatap langit yang penuh dengan gumpalan-gumpalan awan putih. Sinar mentari yang menyela diantaranya, semakin menegaskan bahwa tak ada langit mendung diatas sana. Begitu cerah ditambah kicau burung yang terbang melintas diatasku. Tapi tetap saja tak bisa aku menutupi kalau ada seberkas mendung menutupi kilau mataku. Lagi-lagi aku tak bisa menahan bulir-bulir kristal untuk tak jatuh membasahi pipi, kejadian 3 tahun silam itu masih begitu mengoyak hati dan pikiranku. Lelaki kodok.
            “Dok.. kau sedang apa disana?” gumamku lirih menerawang langit.
            Aku masih terus saja tak bergeming, melayangkan beribu tanya yang tak sanggup untuk ku keluarkan dari kubangan otakku. Sesak sekali hingga nyaris tak ada ruang untuk memikirkan hal lain. Tanpa sadar, ada seseorang yang tengah memperhatikan aku dari jarak 3 meter tempatku berada. Wajahnya tirus dengan garis-saris keriput dibagian wajahnya, kulitnya hitam legam diterpa matahari yang sudah menjadi kawannya sehari-hari. Dia mendekatiku dan mencoba duduk disampingku.
            “Nak..” suaranya membuyarkan lamunanku, aku mengarahkan kepalaku melihat ke arah samping. Kulihat sosok lelaki tua itu tersenyum. Aku pun menyambut senyum hangatnya itu, sebelumnya ku seka mataku yang masih basah karena bulir-bulir kristal yang mengalir di pipiku.
            “Oh iya pak, ada apa?” tanyaku pelan.
            “Engkau sedang bersedih?” Bapak itu balik bertanya kepaku.
“Daritadi bapak memperhatikanmu, kau sedang berdiam diri menerawang langit. Ada apa gerangan?” tanyanya lagi.
“Hanya teringat seorang sahabat pak” jawabku dengan seulas senyum. Entah senyum ini terlihat begitu menipu atau benar-benar ikhlas dari hati. Aku tak bisa meyimpulkan.
“Kenapa engkau tak mencoba mengunjunginya? Atau paling tidak engkau kan bisa untuk menghubunginya, bukankah sekarang sudah serba canggih nak. Ada handphone yang bisa dipakai kapan saja.”
“Andai aku bisa pak” kembali aku mendongakkan kepala, menerawang langit yang penuh gumpalan awan putih.
“Dia sudah ada disana” aku mengangkat tanganku menunjuk ke arah langit.
Bapak disebelahku mengikuti gerak tanganku ke arah langit. Seketika kami terdiam, sama-sama menatap lepas ke arah langit luas. Beberapa detik kemudian, kembali bapak disebelahku membuka pembicaraan lagi, “Hidup itu harus selalu disyukuri nak, jangan pernah ditangisi. Toh hidup kita ini ngontrak nak”
Ngontrak?” aku mengernyitkan dahiku, mencari maksud perkataan bapak ini.
“Semua yang kita punya ini hanya milikNya, nyawa, orang tua, sahabat, teman, rumah bahkan baju kita ini milikNya. Tak pantas jika kita mengakui semua itu milik kita dan tak ada yang boleh merampasnya dari kita. Sederhananya seperti ini nak, bapak yang tukang parkir setiap hari dititipin mobil-mobil dan sepeda motor yang bagus-bagus, bapak sebisa mungkin untuk menjaganya. Kemudian dengan ikhlas bapak akan membiarkan orang-orang tadi untuk mengambil kembali mobil-mobil maupun sepeda motornya yang sudah dititipkan pada bapak. Bapak tidak merasa mereka telah merampasnya dari bapak. Toh itu semua milik mereka, bapak tidak merasa itu semua milik bapak karena bapak hanya sekedar dititipi. Bapak tidak merasa sedih atau kecewa karena barang yang mereka titipkan itu diambil kembali” jelasnya padaku.
Aku berdecak kagum pada bapak disebelahku ini.
            “Terima kasih pak”
            “Untuk apa nak?”
            “Bapak telah memberiku pencerahan”
            “Sama-sama nak, saran bapak doakan saja sahabatmu itu disetiap selesai sholat. Karena hal itu akan lebih baik untuknya. Hidup ini hanya sekali nak, janganlah dibuat murung terus. Berikan yang terbaik untuk sekitarmu. Lanjutkan hidupmu nak.”
            “Iya pak” anggukku mantap.
***

No comments:

Post a Comment