Saturday, August 13, 2011

Kertas Lusuh Tio

                “Lihatlah gaya pakaianmu, seperti  anak jalanan saja,” Bakri abang dari Tio menatap adik bungsunya dengan tatapan kecewa.
                “Memang ada yang salah?” Tio memperhatikan celana jeans yang sedikit dibawah lutut miliknya, kaos hitam bertuliskan “jogja” dibalut dengan jaket yang tak kalah hitamnya, rambut sebahu dengan gitar yang menggelantung dibalik punggungnya (jadi inget sosok Mo Kyul di drama Marry Me Mary, hehe)

                “Almarhum abi menuruti kau meneruskan sekolah musik apa hanya untuk ini? Bukankah kau sudah mendapat tawaran kontrak untuk mengikuti debut? Kenapa ditolak?” Suara Bakri mulai meninggi.
                “Bang, Tio tau apa yang Tio lakukan. Kalau Abi tau, Abi juga pasti akan mendukung hal ini.”
                “Omong kosong.”
                Tio menatap abangnya sedih, tak ingin memperpanjang perdebatan, Tio langsung masuk ke kamarnya. Diraihnya pakaian baru dari dalam lemari, kemudian Tio masuk ke kamar mandi yang berada didalam kamarnya, dia membasuh wajahnya dengan air wudhu dan mengganti pakaian.
                Diluar kamar tampak dua orang pria yang umurnya saling berpautan sedang membicarakan sesuatu, “Ada apa bang? Tio lagi?” seru lelaki berpakaian jas dengan dasi berwarna biru tua.
                Bakri hanya menganggukkan kepala dengan mimik penuh kekesalan.
                Galih lelaki berjas itu berjalan mendekati kamar Tio, dibukanya sedikit pintu kamar Tio untuk mengintip apa yang sedang dilakukan adiknya itu. Terlihat Tio sedang menengadahkan tangannya diatas sajadah, sesekali Tio melirik ke kertas lusuh berwarna cokelat dihadapannya.
                “Sedang apa Tio?” tanya Bakri.
                “Lihatlah saja!” Galih memberi isyarat dengan lenggokan kepala.
                Bakri ikutan mengintip Tio, “Lihat, apa dia itu tidak hafal ayat Al Qur’an? Bukankah dia juga pernah sekolah di pesantren. Berdoa saja masih membutuhkan tulisan di kertas? Ilmunya hilang kemana?  Dia benar-benar mengecewakan,” bisik Bakri pada Galih.
                “Iya bang, pantas saja Tuhan tak mau mengabulkan doanya, lihatlah kelakuan dia, semuanya negatif,” Galih menimpali sepakat terhadap pendapat abang sulungnya itu.
***
                “Io.. abang ingin bicara, kemarilah,” panggil Bakri.
                “Ada apa bang?” Tio mengambil posisi di hadapan abangnya.
                “Kami, Bang Bakri dan Galih sudah memutuskan untuk memberikan harta warisan abi semuanya untukmu, abang sudah tak membutuhkannya, kami sudah berkecukupan, abang punya rumah yang bagus, perusahaan mebel yang besar, mobil terbaru, semua sudah abang punya,  abang tau meskipun warisan itu hanya sebuah rumah tua ini setidaknya abang tak ingin membuatmu luntang-lantung di jalanan. Ambillah rumah ini, sebagai hak milikmu seutuhnya. Jika suatu saat nanti kau butuh bantuan, tak perlu sungkan menghubungi kami, kami akan memberikanmu uang.”
                “Iya Bang.” Wajah Tio seketika berubah menjadi sedih. Ditatapnya kepergian kedua abangnya dari rumah, sepi mulai menjalar di sekujur tubuh Tio dan ruangan keluarga itu.
                Sesaat Tio kembali tersenyum ketika melihat potret keluarganya di dinding, tawa ceria Umi, Abi, Tio dan kedua abangnya. “Aku ingat, ketika kita saling berlari beradu cepat pergi ke masjid saat adzan mulai berkumandang. Abiku imam yang baik, abang-abangku yang taat, umi yang tersenyum melihat perkembangan kami. Ah aku rindu kalian.”
                “Assalamualaikum, bang Tiooooo,” suara teriakan itu membuat Tio tersadar dari lamunannya.
                “Walaikumsalam,” Tio berlari membukakan pintu.
                “Bang sudah ditunggu anak-anak,” ujar remaja lelaki yang berumur sekitar 15 tahun itu.
                “Oh iya sebentar abang ambil gitar dulu.”
                Ini sudah menjadi kebiasaan Tio. Setelah lulus dari sekolah musiknya, dia langsung mengabdikan dirinya mengajar musik di sebuah gudang tua di pinggiran kota dekat kawasan kumuh dibawah jembatan. Dia punya keyakinan, bahwa ilmunya akan lebih bermanfaat jika disalurkan dalam pola pengajaran seperti ini. Berkumpul dengan anak-anak jalanan yang jarang mempunyai kesempatan menyalurkan bakatnya. Disini Tio berharap bisa menjadi benang merah yang menjembatani adik-adik asuhannya untuk bisa meraih mimpinya.
                Untuk menyambung hidupnya, Tio bekerja disebuah cafe sebagai pelayan. Tak ada yang tau tentang kehidupan Tio, bahkan abang-abangnya yang mengira bahwa Tio telah salah pergaulan karena melihat dandanan Tio yang menurut mereka lebih mirip dengan anak jalanan.
                Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, Tio yang hidup sebatang kara mulai merasakan rindu terhadap abang-abangnya. Ditatapnya lembar kartu nama, tercantum nama Bakri Santoso beserta alamatnya. Tio tersenyum kemudian melajukan motornya ke alamat itu. Kurang dari tiga puluh menit Tio sudah sampai didepan sebuah rumah besar berwarna putih dengan halaman berumput hijau yang cukup luas. “Bang Bakri ada pak?” tanya Tio pada seorang satpam yang sedang berdiri di depan gerbang rumah.
                “Oh iya, ada didalam, ini mas Tio bukan?”
                “Iya pak, saya Tio, adiknya bang Bakri.”
                Setelah gerbang dibuka, Tio langsung menghambur ke rumah putih itu, perasaan rindunya benar-benar tak dapat ditahannya.
                “Assalamualaikum bang,” sapa Tio.
                Bakri tak menjawab, sepertinya dia sibuk menelfon seseorang, Bakri melihat Tio kemudian melambaikan tangan memberi isyarat untuk Tio masuk ke dalam rumahnya.
                “Kata Abang, menjawab salam itu wajib, kenapa sekarang dia tak menjawab salamku,” Tio bergumam dalam hati “Ah mungkin dia tak mendengarnya.” Tio berusaha berfikir positif.
                Sembari menunggu abangnya yang sibuk dengan ponsel di telinganya, sayup-sayup Tio mendengar suara adzan. “Sudah saatnya sholat ashar,” Tio tersenyum senang, berharap kali ini dia bisa sholat berjamaah dengan abangnya.
                Tio mulai percakapan usai memastikan bahwa abangnya sudah selesai dalam percakapan di telfon. “Bang, udah adzan, sholat jamaah dulu yuk,” ajak Tio.
                “Aduh Io, sholatnya ntar aja deh ya, kamu kesini butuh uang kan? Ambil saja cek kosong ini, kamu tulis berapa yang kamu ingin, abang sibuk, abang harus pergi ke kantor dulu. Kalau mau sholat di mushollah belakang sana, ajak pak satpam buat jamaah.”
                “Tapi bang.. Tio kesini bukan butuh uang, Tio rindu abang.” Tio menatap sedih kepergian abangnya. Kemudian Tio melangkahkan kaki menuju mushollah belakang, dia sholat jamaah bersama bapak satpam yang ia temui di gerbang tadi. Usai sholat Tio meraih mushaf, tampaknya mushaf itu kotor sekali, lapisan atasnya ditutupi debu.
                “Kenapa mushaf ini kotor sekali? Apa abang tidak pernah memakainya?” pikiran negatif mulai menyerang Tio, “Ah tidak, mungkin abang punya mushaf lainnya, lagian abang kan juga hafidz Qur’an.”
                Selesai mengunjungi kediaman Bang Bakri, Tio melajukan motornya menuju ke rumah bang Galih. Sepertinya kedua abang Tio adalah orang yang sukses, karena melihat keadaan rumah bang Galih pun juga sama besarnya dengan rumah bang Bakri. Tio mengucap syukur dengan tulus.
                “Asslamualaikum bang Galih.” Sapa Tio.
                “Walaikumsalam, eh kamu Io. Butuh uang? Maaf Io abang lagi defisit.” Ujar abangnya.
                “Ah enggak kok bang. Tio kesini hanya..”
                Belum selesai Tio berbicara, abangnya memotong pembicaraan, “Io kalau kamu tak ada keperluan, kamu bisa pulangkah? Abang lelah, abang ingin tidur.”
                “Oh begitu, baiklah, abang sudah sholat?” tanya Tio.
                “Belum, nanti setelah tidur saja.”
***
                Tio duduk sendirian termenung di teras rumahnya, menerawang langit malam yang mengembalikannya ke memoar lama bersama keluarga lengkapnya. Kehidupan sederhana penuh cinta dan damai, penuh ceria dalam benang-benang islami, Abi yang disiplin mendidik putra-putranya, mewajibkan hafalan ayat-ayat Al Qur’an, abang-abangnya yang selalu menjadi nomer satu, teringat pula gambar dirinya saat dia duduk menangis meratapi kesulitan Tio dalam proses menghafal.
                “Seandainya penyakit ini tak menyerangku, mungkin kalian tak akan meremehkan adikmu ini bang. Tapi Tio bangga dengan kalian. Karena kalianlah Tio bisa tetap berjuang melawan penyakit ini. Terima kasih bang.”
***
                “Innalillahi wa inna lillahi roji’un, aku akan kesana sekarang juga.” Wajah Bakri memucat ketika mendapat telfon dari seseorang diseberang sana. Tanpa menunggu lama, Bakri mengemudikan mobilnya. Beberapa menit kemudian mobil mulai menepi didepan rumah sederhana di pinggir kota.
                “Bang.. Tio.” Seru Galih.
                “Bagaimana bisa?” tanya Bakri gemetaran.
                “Aku baru tau kalau Tio mengidap disleksia dari usia lima belas tahun,” Galih menundukkan kepala meremas-remas ujung bajunya, dipelupuk matanya menggenang buliran kristal.
                Bakri berlari kedalam rumah, tubuh Tio yang telah terbalut kafan putih tampak tersenyum, disekelilingnya tangis menghambur dari pasang mata murid-murid asuhannya.
                Bakri terjatuh di samping jenazah Tio, kedua kakinya melemas, buliran kristal tak dapat ditahannya lagi. “Maafkan abangmu ini Io,” Bakri tersungkur memeluk tubuh Tio.
                Tak jauh dari sana Galih masuk ke kamar Tio, ditatapnya kamar adiknya dengan teliti, kamar yang begitu rapi untuk ukuran seorang laki-laki, wangi khas, dan sebuah sajadah yang dilipat rapi di atas lantai, Galih mendekat dan membuka sajadah Tio, sebuah kertas cokelat lusuh ada dilipatan sajadah, dibukanya perlahan. “Tioooooooo...” seketika Galih berteriak histeris. Kali ini Galih yang tersungkur dilantai usai membaca tulisan di kertas lusuh.
                Bakri terperanjat kaget kemudian berlari menghampiri Galih. Bakri melihat tangan Galih menggenggam kertas lusuh warna cokelat milik Tio, Galih terus saja mengerang membaca istighfar berkali-kali. “Ada apa Lih?” tanya Bakri, tak mendapat jawaban, akhirnya Bakri mengambil kertas lusuh berwarna cokelat milik Tio yang selalu dibaca usai sholat sambil menengadahkan tangannya.
                Doa
1.       Ya Allah ampunilah semua dosa kedua orang tuaku, semoga mereka berdua berada disisiMu dengan keadaan damai, terimalah amal perbuatan baiknya, jagalah mereka Ya Allah, Tio akan mengirimkan alfatihah untuknya setiap usai sholat.
2.       Ya Allah, sayangilah kedua abangku, mereka nafas Tio, kabulkanlah semua doa abang Tio, dan janganlah membiarkan abang Tio lalai terhadapMu, ampunilah semua dosa-dosanya, abang yang telah rela memberikan payungnya untuk Tio saat hujan pulang sekolah, mereka rela basah demi Tio, ku mohon Allah jangan pernah kecewakan mereka.
3.        Ya Allah, lindungilah orang-orang yang berada disekeliling Tio. Sayangi mereka seperti Engkau menyayangiku. Dan satu lagi pinta Tio, tolong rahasiakan penyakit Tio, Tio tak ingin mereka semua sedih dan mengasihani Tio.
Amin

                “Selama ini kita salah, ternyata doa Tio lah yang terkabulkan, bukan doa kita.” Seru Bakri pelan diiring tangis yang semakin membuncah.


*by eL :)
                

No comments:

Post a Comment