Sunday, March 20, 2011

Jangan Membenci Hujan Karenaku (Part 1)


         Kembali dia menyalakan motor, wajahnya yang tirus dengan garis-garis tegas dibagian wajahnya semakin terlihat jelas terkena pantulan lampu-lampu jalan raya. Tatapannya tajam lurus ke depan, dia tak memperhatikanku atau sekedar bertanya tentang keadaanku yang sekarang benar-benar beku karena udara kota Malang ini. Bibirku membiru gemetaran, mungkin jika ada cermin akan terlihat pantulan wajahku yang seperti mayat hidup karena pucat.

            “Masih jauh perjalanan kita?” tanyaku membuka percakapan, berharap lelaki yang sedang menyetir ini tak mendiamkan diriku.
            “Sekitar 15 km lagi”
            “Owh..”
            Kembali suasana sepi menyerang diantara kami.
Entahlah mantra apa yang bisa membuatku tunduk patuh ikut serta dalam perjalanan dengan lelaki di depanku ini. Padahal masih teringat jelas, kemarin pagi saja aku dan dirinya bertengkar heboh karena proposal tugas kelompok sekolah yang terlewat deadline gara-gara dia terlambat mengumpulkannya, padahal proposal itu sudah dikerjakan kami dengan susah payah. Dan hasil akhirnya malah terbuang sia-sia karena ditolak oleh Pak Doni -Guru B.Indonesiaku-
Ingin rasanya ku lumat lelaki di depanku ini. Tapi sial, lagi-lagi pesona polosnya yang membuatku takluk dengan lelaki ini. Meskipun watak angkuh dan keras, tapi kadangkala aku menemukan sesuatu hal yang berbeda dari dalam dirinya. Seperti siluet jingga ditengah langit gelap. Dia sosok yang baik, itu menurutku. Meskipun lebih sering menjengkelkan. Tak khayal, setiap hari pun dia sering membuatku berteriak karena ulahnya. Tapi itulah yang berbeda dari dirinya, banyak hal-hal baru yang ku dapat dari dirinya. Seperti misalnya, saat dia menculikku di tengah-tengah pelajaran Fisika yang membosankan. Kemudian dengan santainya dia menarik tanganku, mengajakku menyelinap lewat pintu belakang area sekolah hingga akhirnya kami keluar dan hari itu kita bolos.
“Bram, apa-apan sih. Hampir jantungku copot gara-gara hal ini. Liat tuh, pak satpam nyaris mergokin kita. Mau kemana sih? Tega-teganya menculikku di tengah pelajaran” gerutuku tanpa henti.
“Bosan? Ngapain di dalam kelas. Percuma. Pelajaran tadi ga bakal ada yang masuk di otakmu” jelasnya.
“Sok tau deh. Siapa juga yang bosan? Hah? Fisika itu pelajaran favoritku! Mikir dong, anak rajin seperti diriku ga akan pernah ngrasa bosan” aku pun mencoba mempertahankan argumen, padahal di dalam hatiku aku sujud syukur bahagia karena si Bram telah menyelamatkanku dari rasa bosan stadium akhir ini.
“Bawel banget sih jadi cewek. Dasar bebek”
“Heh kodok… amnesia ya? Namaku Sisilia Putri. Seenaknya saja memanggilku bebek. Huh” aku mendengus kesal.
Dia tak merespon kekesalanku. Yang ada dia malah menyuruhku untuk naik di atas motor ninjanya.
“Mau kemana kita?”
“Jurang” jawabnya singkat
“Eh bung, kalau mau bunuh diri jangan ngajak-ngajak dong”
“Bebek diem deh”
“Huh” aku memukul punggung lelaki yang sedang menyetir ini.
Aku pun terdiam menikmati suasana kota yang cukup semrawut ini. Sesekali aku melihat ke arah spion sebelah kiri, aku mendapatkan pantulah wajah lelaki kodok yang sedang serius menyetir. Hihi wajah garang tapi polos, membuatku tersenyum yang diriku pun tak tau maksud dari senyum ini.
            30 menit perjalanan akhirnya motor ninja Bram kini menepi memasuki parkir kawasan taman kota. Sebelum membeli tiket masuk, Bram menyuruhku untuk ganti pakaian. Dia menyerahkan bungkusan plastik berisi sepotong kaos dan celana jeans.
            “Heh? Dapat darimana bungkusan ini? Kapan belinya?” cercahku dengan pertanyaan yang membulat di otakku.
            “Sudahlah pakai saja sana. Dasar bebek bawel”
Bram meninggalkanku, kulihat dia berjalan ke arah loket. Tanpa menunggu lama, aku pun berganti pakaian yang diberi oleh Bram. Sedikit kebesaran, tapi not bad lah. Aku keluar dari toilet. Aku berjalan ke arah Bram yang sudah menungguku di depan pintu masuk. Ku lihat dia pun juga sudah berganti pakaian rupanya. Kaos hitam bergambar senapan menghiasi tubuhnya yang atletis. Sungguh dia semakin terlihat garang. Tapi senyum simpul yang menghiasi wajah tirusnya membuat dia terlihat manis dan polos.
“Bebeeeeeekkkk cepatlah !!!” teriak Bram.
“Ah dasar kodok, baru saja aku memuji wajahmu yang polos. Sekarang sudah menjengkelkan lagi” gerutuku pelan.
“Iyaaaaa kodokk sebentaaaarr” jawabku sembari berlari.
Bram mengait tanganku. Dia mengajakku menaiki wahana-wahana yang tersedia. Dimulai dari komedi cangkir putar, hingga tornado yang membuatku mual nyaris muntah. Tapi kali ini ku lihat wajah Bram begitu ceria, hilang semua status wajah garangnya. Dia pun semakin terlihat imut layaknya anak kecil saat membawakanku sebungkus permen kapas berwarna pink.
“Nih untukmu”
“Buatku? Waaahhh asyiikkk makasi ya kodok. Baik banget deh, hehe”
“Ini tanda permintaan maafku karena telah menculikmu”
“Oke permintaan maaf diterima. Tapi janji, lain kali jangan diulangi” ujarku dengan senyum
“Iya bawel” Bram mengelus kepalaku.
***
Lucu rasanya saat mengingat memoar waktu itu, aku pun tersenyum dibuatnya. Dan tanpa sadar bulir-bulir basah itu mengenai bajuku, lambat laun bulir-bulir ini berubah menjadi tetesan-tetesan air yang deras dan banyak. Hujan melengkapi pekat langit malam perjalanan kali ini.
“Bram.. kita berhenti dulu. Aku tak kuat lagi, hujan ini seperti jarum yang menusuk pori-pori kulitku. Aku tak ingin sakit” seruku dengan keras.
Bram mengacuhkanku, dia tak merespon sedikitpun. Dia masih saja melajukan motor ninjanya.
“Braaaaaaammm…” teriakku
Ciiiiiiiiiiitttt, Bram mengerem mendadak hingga kepala helmku membentur helmnya.
Bruuuuk, “kau ingin membunuhku?” seruku pedas.
Pengereman kali ini tak berjalan mulus, motor Bram menabrak sebuah tong kosong yang ada di tepi jalan.
“Maaf, kamu gak apa-apa kan?” Bram melontarkan pertanyaan dari mulutnya.
“Iya aku gak apa-apa, tapi hati-hati dong” jawabku dengan nada yang sengaja ku buat meninggi.
Kami pun meneduh disebuah halte. Saat ini aku benar-benar merasa semakin beku, hujan membasahi pakaianku, dan sekarang aku dan Bram dalam susana masing-masing. Pertengkaran kecil tapi membuat diriku mendiamkan si kodok sebelahku ini.
Bram melihatku tajam, tapi tak ku pedulikan dia. Kemudian Bram beranjak pergi. Tak sampai 3 menit, Bram kembali membawa jaket kering dan mengenakannya di tubuh basahku. Aku merasakan kehangatan. Belum sepatah kata keluar dari mulutku, Bram pun pergi lagi, kali ini dia pergi cukup lama. Beberapa menit kemudian Bram kembali dengan membawa dua gelas teh yang masih mengepul panas plus sepiring gorengan. Dia meletakkannya disampingku.
“Makanlah dulu, untuk sekedar mengganjal perut dan menghilangkan rasa dingin” suara Bram terdengar parau.
Aku pun mencomot satu buah pisang goreng dan menelannya tanpa ampun. Bram melihatku kasian, mungkin kali ini wajahku seperti anak kucing yang sedang kelaparan.
“Habiskan saja” senyum Bram.
“Kamu juga, nih” aku menyodorkan satu untuk Bram.
Kami pun menikmati potong demi potong gorengan dan menyeruput teh yang panas itu sembari menunggu hujan berhenti.
“Kamu tau Sil? Aku lebih suka hujan daripada pelangi” Bram membuka percakapan, matanya melihat tajam menerawang diantara baris-baris hujan.
Hujan akan selalu terlihat meskipun bulir-bulir air dari langit berhenti turun. Hujan menyisakan bekas yang memberitahukan bahwa dirinya pernah turun dan hadir diantara mereka. Lewat basahnya dedaunan, kubangan air di tanah cekung, bahkan bias pelangi itupun menjadi saksi bahwa hujan pernah hadir ditengah-tengah kita. Sedangkan pelangi, ia hanya hadir dengan cekunan yang berwarna-warni. Kata orang romantis dan indah, tapi bagiku lebih cantik hujan. Basahnya membuat sekeliling menjadi sejuk, meskipun terkadang kita dibuat beku karenanya. Tapi hujan simbol kehidupan kita. Hujan, air, sebagian besar hari-hari kita memerlukannya. Coba jika hujan tak turun beberapa pekan, serasa kering bukan? Meskipun air di laut, danau, sumur, masih menyisakan stok air yang cukup banyak. Tapi hujan mampu melegakan dahaga yang sesungguhnya. Dirimu pun tak kan pernah menjumpai pelangi jika hujan tak mengawali. ” sambungnya lagi dengan penjelasan yang cukup panjang.
Aku memperhatikan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya, kucoba merekamnya di dalam memori otakku. Kalimat yang sungguh indah dan bermakna sangat dalam. Kini aku menemukan satu hal lagi dari lelaki ini yang menurutku berbeda dengan yang lain. Kuperhatikan garis-garis sendu di wajahnya. Sepertinya masih banyak yang tak ku ketahui tentangnya. Tapi aku senang bisa mengenalnya sampai detik ini.
“Bagaimana menurutmu?”  tanya Bram membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum, “Aku setuju dengan argumenmu”
“Aku pun suka hujan Bram, karena hujan membuat dirimu ada disini menemaniku” gumamku dalam hati.
Sejenak kita terdiam, menikmati alam pikiran kita masing-masing. Meskipun mata kita sedang memandang rintik-rintik hujan yang terlihat romantis dengan background langit malam yang begitu pekat, ditambah kialu-kilau lampu jalan yang remang-remang.
“Betapa indahnya malam ini” pekikku dalam hati. Tak ingin rasanya detik ini berlalu cepat.
“Hahahahaha sudahlah, kenapa jadi romantis-romantisan gini sih. Hujannya mulai reda nih, yuk bebek bawel kita lanjut lagi” suara Bram memecah suasana hening.
Gubraakkkk hatiku jadi semrawut, perpindahan feel yang terlalu cepat. “Dasar kodoooook” teriakku dalam hati.
            Kami pun melanjutkan perjalanan, menuju arah timur kota Malang. Sebuah tempat di kaki gunung tempat tinggal si mbok -pembantu Bram- yang sudah Bram anggap seperti ibunya sendiri. Kabar si mbok sakit membuat Bram rela naik motor untuk menjenguknya. Meskipun Jarak kota Surabaya dan Malang tak cukup dekat.
Sekitar 3 km dari rumah si mbok, tiba-tiba hembusan mobil truk gandeng yang melaju kencang itu membuat sepeda motor Bram oleng. Ditambah lagi senggolan bumper depan mobil avanza mengenai sepeda Bram dan brukkkk kita terjatuh. Aku jatuh ke sebelah kiri jalan, sedangkan Bram jatuh di kanan jalan.
“Bek.. kamu gak apa-apa?” seru Bram. Belum usai aku mau menjawab tiba-tiba sorot lampu kuning yang terlihat ganas menerpa tubuh Bram. Bruuuukkkk suara kali ini lebih keras, badan Bram terhempas kedua kalinya. Kali ini tubuh Bram mengalir darah segar berwarna merah yang sangat banyak. Mobil atoz menabraknya.
“Braaaaaaaaaaammmmm….” Aku berteriak kencang. Seketika gemuruh petir menderu di langit, rintik hujan mulai turun perlahan.
Aku berlari mendekati Bram. Kakiku lunglai melihat keadaannya, aku pun terjatuh disampingnya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap tak pingsan karena melihat darah yang begitu banyak. Aku menggucang tubuh Bram dan mencoba membersihkan wajahnya yang berlumuran darah.
“Braaaammm bangunlah… ku mohon” isakku membuncah.
Bram menyahutnya dengan lirih, “Sisilia Putri.. Bebekku sayang, jangan pernah membenci hujan karena hal yang terjadi padaku. Berjanjilah untukku
“Braaaaammm.. aku janji takkan membencinya. Asal dirimu selalu ada disampingku saat hujan turun”
“Maafin aku bek.. aku gak bis..” belum selesai Bram berkata, dia pun menghembuskan nyawanya. Hilang terbang bersama gemuruh petir yang melanglang buana di langit kelam. Tubuhnya benar-benar beku di peluk Sisil.  Hujan yang menjadi background kali ini seolah mengerti akan kasedihan yang mendalam di hati Sisil. Tangis Sisil membuncah bersama rintik hujan yang membasahinya.
***


By: El Mukarrima

2 comments: